Duh, aksi adu jotos yang ditampilkan oleh para pemimpin `negeri makmur namun tidak subur` ini semakin menjadi-jadi. Beberapa waktu yang lalu anggota `adu jotos` versi pemimpin `negeri makmur namun tidak subur` dipraktekkan oleh orang-orang yang duduk di DPR pusat yang dilakukan di dalam gedung. Kemudian di negeri Darussalam ini kekerasan terjadi ketika teungku menyampaikan ceramah maulid, dia diturunkan paksa karena ada kelompok yang merasa tersinggung karena isi ceramahnya. Hari kelahiran nabi ternodai dengan aksi kekerasan.
Namun kejadian yang sangat janggal lagi pada pemberitaan semua media massa lokal yang menjadi headline. Aksi kekerasan dilakukan di dalam rumah Allah, lebih pedih lagi pada saat kaum laki-laki sedang melaksanakan ibadah wajib, tepatnya ketika salat jumat dan khatib sedang berkhutbah. Mereka menodai rumah Allah.
Pelaku beralasan, mereka marah karena isi khutbah si khatib menyindir habis-habisan para kelompok tertentu. Jika marah, kenapa kekerasan dilakukan dalam rumah Allah? “Karena naik pitam, jadi emosi tak terkendalikan,” hmm, begitulah alasan yang disampaikan tanpa beban, tidak merasa malu pada tuhan.
Sehari berselang, Yong kembali membaca berita di koran tentang aksi kekerasan. Masih pada level seimbang, aksi seperti binatang sedang merebut pasangan itu terjadi pada bupati Aceh Selatan. Dia dipukuli oleh seorang yang katanya kontraktor, yang juga seorang yang berintelektual. Masih dalam masalah pribadi yang diributkan, masalah proyek, bukannya masalah rakyat yang kelaparan.
Duh, kali ini hati Yong sangat teriris, karena berita ini terjadi di daerah ia berasal, Aceh Selatan. Ada apa dengan negeri ini ya Allah? Padahal Allah telah memberikan peringatan, belum lama berlalu gempa bumi menguncangkan bumi tuhan. Apa para pemimpin itu tidak mengartikan ini sebagai suatu peringatan?
“Umat ini tidak ada lagi rasa malu, baik rakyat maupun pemimpin, semuanya sama!” Kata ustad Arif ketika duduk bersama Yong di kantin Bang Fajri. Ya, betul seperti kata ustad Arif, malah malu sekarang ini salah ditempatkan. Perbuatan yang seharusnya malu dilakukan malah menjadi kebanggan. Sebaliknya perbuatan yang menjadi kewajiban malah malu dilakukan.
“Anak muda bangga ketika motornya diboncengi oleh cewek, seharusnya mereka mereka malu. Sedangkan sudah malu memakai peci dan sarung ketika ke mesjid, dan mereka bangga ke mesjid dengan memakai baju kaos dan celana tanggung, ketika sujud menampakkan celana dalam. Ya beginilah, dunia sudah terbalik.” Sahut Bang Ajir.
Sedangkan para pejabat sering melontarkan senyum ketika mereka di panggil ke pengadilan karena kasus korupsi, mereka tidak merasa bersalah, mereka tidak merasa malu. Kekerasan yang dipertontonkan kepada rakyat juga tidak merasa malu, malah pandai berkilah lidah dengan seribu alasan untuk membenarkan perbuatan yang sudah jelas salah. Entahlah, inilah negeriku, negeri tiada malu.
Telah dimuat di Harian Aceh, 14 September 2011
No comments:
Post a Comment