Wednesday, April 18, 2012

Alat Canggih Itu Hanya hayalan



Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Sekarang saya sudah menjalani 5 semester di bangku perkuliahan dan sekarang sedang menjalani semester  6. Yah, ukuran standarnya hingga semester 8 sudah menyandang gelar sarjana, memakai baju toga, dan menyandang gelar  S1.

Pertengahan tahun 2009 yang lalu, saya telah menamatkan sekolah tingkat MA (Madrasah Aiyah). Kemudian melanjutkan ke bangku kuliah. Waktu itu, saya mengikuti tes seleksi mahasiswa di dua universitas ternama  di Aceh, Universitas Syiah Kuala (UNSYIAH) dan IAIN Ar-Raniry . 

Alhamdulillah saya lulus di kedua universitas tersebut. Di Unsyiah saya lulus di Jurusan Ilmu Politik (UMB) dan Ilmu Sosiologi (SPMB), kedua merupakan jurusan di fakultas  FISIP. Sedangkan di IAIN Ar-Raniry saya lewat di Jurusan Jurnalistik (KPI) Fakultas Dakwah.

Sempat kebingungan karena harus memilih salah satu dari ketiga jurusan tersebut.  Setelah mendengar saran dari beberapa orang terdekat, akhirnya pilihan saya jatuh pada jurusan Jurnalistik di IAIN Ar-Raniry. Sebenarnya saya juga sangat ingin di jurusan lmu Politik Unsyiah, namun saya mempertimbangkan biaya kuliah, di IAIN lumayan lebih murah daripada Unsyiah, maka pilihan akhir jatuh kepada IAIN. 



Di awal perkuliahan saya sangat semangat. Apalagi di buku panduan akademik saya melihat daftar matakuliah di semester 5 sampai 7 sangat keren bagi saya. Betapa tidak, disana tertulis mata kuliah Fotografi, Praktikum Perwajahan, Jurnalistik TV, Radio, dan sebagainya. 

Waktu itu saya membayangkan akan berhadapan dengan alat-alat canggih, bermain dengan software desain, memengang kamera DSLR, kamera professional layaknya yang dipegang wartawan Metro TV, berkunjung ke stasiun televisi dan radio, bisa mengoperasikan alat-alat canggih di studio televisi dan radio, dan berbagai alat canggih lainnya. 

Karena motivasi itu, saya bersemangat menjalani semester untuk bias sampai ke semester “alat canggih” tersebut.

Alat canggih itu Tak Ada
Namun, hayalan itu cukup sebatas hayalan saja. Apa yang telah saya hayalkan tidak ada pada kenyataan. Jurusan Jurnalistik itu hanya nama. “Alat canggih” dalam hayalan itu tidak ada. Mata kuliah Fotografi, ya, seharusnya mahasiswa selalu bersahabat dengan yang namanya kamera, namun itu tidak ada. Di Jurusan Jurnalistik ini tidak tersedia kamera satu pun. Bagaimana menjadi seorang fotografer? Untung dosen Fotografi ini baik hati. Dia rela memboyong 2 buah kamera DSLR-nya yang mahal itu ke kampus. Ya, hanya ada 2 kamera, tidak maksimal, saya dan kawan-kawan tetap mengeluh, termasuk dosen yang katanya sudah 2 tahun gajinya belum dibayar.

Di matakuliah Praktikum Komputer malah tak ada laboratorium komputer, sungguh ironis. Mahasiswa harus membawa laptop sendiri. Bagi mahasiswa yang tidak punya laptop  harus bersusah payah meminjam pada orang lain, karena barang seperti ini susah dipinjamkan.

Matakuliah Jurnalistik TV dan Jurnalistik radio seharusnya mahasiswa bisa berkunjung ke stasiun televisi dan radio, namun itu juga sebatas hayalan. Bukannya dosen yang tidak mau membawa mahasiswa ke studio tersebut, tapi dosen itu mengatakan tidak ada kerjasama antara akademik fakultas ini dengan stasiun televisi  maupun radio. Huh, menyebalkan.

Tak usah saya menceritakan yang lainnya, semua hanya ada dalam hayalan. Ternyata alumni jurusan ini yang sukses di berbagai media bukanlah jurusan ini yang menyebabkan mereka seperti itu, tapi mereka belajar secara ototidak. Dulu saya mengira mereka merupakan “produk” jurusan yang katanya “mesin produksi” jurnalis Aceh ini.

Huh, lelah dengan semua ini. Apakah ini cobaan atau perjuangan???

No comments:

Post a Comment