Monday, November 19, 2012

Museum Tsunami, Kenangan Untuk Anak Cucu



Oleh Munawar Hafizhi

“Kiban, jadeh?” sebuah SMS masuk di HP saya. “OK, lon preh langsong di museum beh....” Saya telah sepakat dengan seorang kawan, Muhammad Iqbal, untuk berkunjung ke museum Tsunami. Jujur saja, sudah 6 tahun lebih saya tinggal di Banda Aceh, namun belum pernah sekalipun mengunjungi Museum Tsunami yang telah diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Februari 2009 itu.


Setelah berjumpa dengan Iqbal di depan museum Tsunami, kami langsung memarkir sepeda motor kami di tempat parkir museum, tukang parkir memberikan nomor parkir dan meminta terlebih dahulu uang parkir. “dua ribu, Bang!” pinta tukang parkir itu. setelah menyerahkan uang, kami langsung bergegas ke halaman museum.

Saat hendak memasuki museum, terdapat sebuah pajangan puing helikopter yang merupakan milik Polda Aceh. Helikopter ini sebagai salah satu bukti kedahsyatan Tsunami yang meluluhlantakkan Aceh.

Ketika masuk ke dalam museum, kami melewati lorong Tsunami. Lorong sempit dan tinggi tersebut mempunyai dinding yang dialiri air. Dalam ruangan itu terdengar suara ngaji dan suara air yang menggesek dinding, pengunjung akan merasakan suasana Tsunami, ketegangan sangat terasa. Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan perempuan di lorong ini. Saya menyangka itu rekaman audio yang mengiringi suara air dan ngaji untuk menambah kentalnya suasana Tsunami di lorong itu. Ternyata sangkaan saya salah, itu benar-benar teriakan manusia. Ya, di belakang saya beberapa wanita yang berteriak histeris. Mungkin bagi anda yang punya nyali rendah atau masih trauma dengan peritiwa Tsunami, jangan coba-coba melewati lorong ini.

Di ruang cerobong, pengunjung akan melihat dinding berwarna kuning emas yang telah ditempelkan nama-nama korban Tsunami.

Menuju lantai dua, pengunjung melewati jalan tanjakan yang mengelilingi ruang cerobong tadi. Lalu sampailah pada jembatan yang terhubung ke lantai dua. Jembatan ini membelah kolam di bawahnya. “Biasanya ada air di kolam ini,” kata Iqbal. Lalu  terlihat sebuah tulisan di kolam lantai kolam itu: “dilarang menginjak lantai kolam, karena sedang diperbaiki!” Saya memberitahukan kepada Iqbal, ia mengangguk dan tersenyum.

Jika memandang ke atas, terlihat bendera dari berbagai negara yang dipajang 3 baris di atap jembatan tersebut. Setiap barisnya terdiri 9 bendera. Jadi jumlah semua bendera adalah 27. Itu merupakan bendera negara-negara yang membantu Aceh saat dilanda musibah Tsunami.

Di lantai dua  terdapat ruang audio visual, tempat pemutaran film-film tentang Tsunami. Di Pintu ruang itu tertulis “tutup”, di situ juga tertulis bahwa ruang audio visual hanya dibuka pada sore hari. Kami beralih ke Ruang Pamer Temporer. Dalam ruangan ini terdapat berbagai pajangan foto-foto tentang Tsunami.

Yang menarik di ruangan ini adalah sebuah sepeda motor rusak dan hancur yang dipajang dalam kaca dalam keadaan hancur. Sepeda motor yang berwarna merah ini merupakan sumbangan dari direktur Akper Muhammadiyah Banda Aceh sebagai bukti betapa dahsyatnya kekuatan gelombang Tsunami di Aceh akhir 2004 silam. Bukan hanya itu, juga ada sebuah sepeda yang juga pernah dibawa arus Tsunami dipajang tidak jauh dari sepeda motor tersebut.

Berkunjung ke Museum Tsunami, mempunyai kesan tersendiri dan akan menambah pengetahuan bagaimana dahsyatnya musibah Tsunami yang melanda Aceh. Begitu juga dengan pengunjung lainnya. Seperti Erwin, salah satu pengunjung yang tercatat sebagai salah satu mahasiswa Universitas samudera (Unsam), Langsa. Sudah beberapa hari berkeliling di Banda Aceh khusus untuk berkunjung ke tempat-tempat bersejarah di ibukota ini. “baru hari ini saya pertama kali berkunjung kesini, museum Tsunami ini sangat bagus, desain bangunan ini sangat indah. Juga bisa merasakan bagaimana suasana ketika Tsunami,” ungkap mahasiswa semester tujuh Jurusan Sejarah ini dengan ramah.

Berbeda dengan Dewi Safrina dan Ayu Soraya, dua mahasiswi semester 5 di Akademi Analis Kesehatan Banda Aceh, mereka sudah sering berkunjung ke museum Tsunami sejak tahun 2010. “Saya suka dengan suasana disini, kalau lagi suntuk saya sering kesini. Kadang-kadang menemani orang-orang dari daerah yang ingin berkunjung kesini, disini juga pemandunya bagus, mereka menjelaskan secara detil tentang apa yang ada di museum ini.” kata Dewi Safrina. Ayu Sorana juga hampir senada dengan Dewi, ia hanya ingin jalan-jalan dan refreshing di tempat ini.

Dewi Safrina sangat terkesan dengan desain museum yang unik. Ia juga bisa mengenang musibah Tsunami beberapa tahun silam yang juga menimpanya. Dewi merupakan warga Banda Aceh. Dulu setelah Tsunami ia sempat tinggal beberapa saat di Langsa, kemudian kembali lagi ke Banda Aceh. “Museum ini sangat bermanfaat bagi anak cucu kita nanti, mereka bisa tahu bahwa di Aceh itu pernah terjadi musibah yang sangat dahsyat!” ungkap Dewi sambil tersenyum.

No comments:

Post a Comment