Oleh Munawar Hafizhi
“Kiban, jadeh?” sebuah SMS masuk di HP saya. “OK, lon preh langsong di
museum beh....” Saya telah sepakat dengan seorang kawan, Muhammad Iqbal, untuk
berkunjung ke museum Tsunami. Jujur saja, sudah 6 tahun lebih saya tinggal di
Banda Aceh, namun belum pernah sekalipun mengunjungi Museum Tsunami yang telah
diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Februari 2009 itu.
Setelah berjumpa dengan Iqbal di depan
museum Tsunami, kami langsung memarkir sepeda motor kami di tempat parkir
museum, tukang parkir memberikan nomor parkir dan meminta terlebih dahulu uang
parkir. “dua ribu, Bang!” pinta tukang parkir itu. setelah menyerahkan uang,
kami langsung bergegas ke halaman museum.
Saat hendak memasuki museum, terdapat sebuah
pajangan puing helikopter yang merupakan milik Polda Aceh. Helikopter ini
sebagai salah satu bukti kedahsyatan Tsunami yang meluluhlantakkan Aceh.
Ketika masuk ke dalam museum, kami
melewati lorong Tsunami. Lorong sempit dan tinggi tersebut mempunyai dinding
yang dialiri air. Dalam ruangan itu terdengar suara ngaji dan suara air yang
menggesek dinding, pengunjung akan merasakan suasana Tsunami, ketegangan sangat
terasa. Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan perempuan di lorong ini. Saya
menyangka itu rekaman audio yang mengiringi suara air dan ngaji untuk menambah
kentalnya suasana Tsunami di lorong itu. Ternyata sangkaan saya salah, itu
benar-benar teriakan manusia. Ya, di belakang saya beberapa wanita yang berteriak
histeris. Mungkin bagi anda yang punya nyali rendah atau masih trauma dengan
peritiwa Tsunami, jangan coba-coba melewati lorong ini.
Di ruang cerobong, pengunjung akan
melihat dinding berwarna kuning emas yang telah ditempelkan nama-nama korban
Tsunami.
Menuju lantai dua, pengunjung melewati
jalan tanjakan yang mengelilingi ruang cerobong tadi. Lalu sampailah pada jembatan
yang terhubung ke lantai dua. Jembatan ini membelah kolam di bawahnya.
“Biasanya ada air di kolam ini,” kata Iqbal. Lalu terlihat sebuah tulisan di kolam lantai kolam
itu: “dilarang menginjak lantai kolam, karena sedang diperbaiki!” Saya memberitahukan
kepada Iqbal, ia mengangguk dan tersenyum.
Jika memandang ke atas, terlihat bendera
dari berbagai negara yang dipajang 3 baris di atap jembatan tersebut. Setiap
barisnya terdiri 9 bendera. Jadi jumlah semua bendera adalah 27. Itu merupakan
bendera negara-negara yang membantu Aceh saat dilanda musibah Tsunami.
Di lantai dua terdapat ruang audio visual, tempat pemutaran
film-film tentang Tsunami. Di Pintu ruang itu tertulis “tutup”, di situ juga
tertulis bahwa ruang audio visual hanya dibuka pada sore hari. Kami beralih ke
Ruang Pamer Temporer. Dalam ruangan ini terdapat berbagai pajangan foto-foto
tentang Tsunami.
Yang menarik di ruangan ini adalah sebuah
sepeda motor rusak dan hancur yang dipajang dalam kaca dalam keadaan hancur.
Sepeda motor yang berwarna merah ini merupakan sumbangan dari direktur Akper
Muhammadiyah Banda Aceh sebagai bukti betapa dahsyatnya kekuatan gelombang
Tsunami di Aceh akhir 2004 silam. Bukan hanya itu, juga ada sebuah sepeda yang
juga pernah dibawa arus Tsunami dipajang tidak jauh dari sepeda motor tersebut.
Berkunjung ke Museum Tsunami, mempunyai
kesan tersendiri dan akan menambah pengetahuan bagaimana dahsyatnya musibah
Tsunami yang melanda Aceh. Begitu juga dengan pengunjung lainnya. Seperti
Erwin, salah satu pengunjung yang tercatat sebagai salah satu mahasiswa
Universitas samudera (Unsam), Langsa. Sudah beberapa hari berkeliling di Banda
Aceh khusus untuk berkunjung ke tempat-tempat bersejarah di ibukota ini. “baru
hari ini saya pertama kali berkunjung kesini, museum Tsunami ini sangat bagus,
desain bangunan ini sangat indah. Juga bisa merasakan bagaimana suasana ketika
Tsunami,” ungkap mahasiswa semester tujuh Jurusan Sejarah ini dengan ramah.
Berbeda dengan Dewi Safrina dan Ayu
Soraya, dua mahasiswi semester 5 di Akademi Analis Kesehatan Banda Aceh, mereka
sudah sering berkunjung ke museum Tsunami sejak tahun 2010. “Saya suka dengan
suasana disini, kalau lagi suntuk saya sering kesini. Kadang-kadang menemani
orang-orang dari daerah yang ingin berkunjung kesini, disini juga pemandunya
bagus, mereka menjelaskan secara detil tentang apa yang ada di museum ini.”
kata Dewi Safrina. Ayu Sorana juga hampir senada dengan Dewi, ia hanya ingin
jalan-jalan dan refreshing di tempat ini.
Dewi Safrina sangat terkesan dengan
desain museum yang unik. Ia juga bisa mengenang musibah Tsunami beberapa tahun
silam yang juga menimpanya. Dewi merupakan warga Banda Aceh. Dulu setelah
Tsunami ia sempat tinggal beberapa saat di Langsa, kemudian kembali lagi ke
Banda Aceh. “Museum ini sangat bermanfaat bagi anak cucu kita nanti, mereka
bisa tahu bahwa di Aceh itu pernah terjadi musibah yang sangat dahsyat!” ungkap
Dewi sambil tersenyum.
No comments:
Post a Comment