Ibu, ku awali dengan nama Allah, nama yang pertama kudengar melalui telinga kanan dari suara merdu sang ayah ketika aku pertama kali keluar dari rahimmu, menatap wajahmu dan ayah. Allah melahirkanku dari rahim ibu yang mulia, yang selalu menyayangiku.
Salawat yang kau ajarkan sejak masa dalam ayunan selalu kulantunkan kepada seorang utusan mulia, Muhammad Saw. Dulu, engkau sering menceritakan kemuliaan akhlaknya. juga engkau ceritakan tentang anjuran Beliau untuk selalu berbakti kepada orangtua, meskipun beliau tidak pernah digendong oleh sang ayah dan Cuma sebentar merasakan kehangatan kasih sayang ibu.
Ibu, sudah 5 tahun lebih aku berada di perantauan, artinya selama itulah aku tidak lagi menemani hari-harimu. Engkau hanya bisa melihat wajahku hanya sekali atau dua kali dalam setahun, hanya itulah engkau dapat melepas rindu padaku.
Ibu, ketika aku baru saja menjejaki usia 15 tahun, engkau telah berpisah denganku. Masa itu engkau rela melepas kepergianku untuk melanjutkan studi di tempat yang sangat jauh darimu. Ya, aku merantau.
Namun kepergianku bukanlah keinginanmu, malah pertama kali engkau tidak mengizinkan aku merantau jauh, berbagai tawaran sekolah bergengsi di sekitar tempat kita engkau tawarkan agar aku tidak merantau di usia itu. Namun, aku adalah anakmu yang tidak bisa mengerti perasaan ibu, aku bersikeras ingin merantau, mengabaikan air matamu.
Masa itu, aku melihat ayah menuruti keinginan anaknya. Tidak keluar sepatah kata pun untuk menghalangiku pergi. Ya, ayah memang sosok yang dingin, semua keinginanku selalu dipenuhi, namun aku tak pernah tahu tentang hatinya dan tidak pernah ingin tahu.
Ibu, tahukah engkau kenapa aku bersikeras menjauh dari sisimu? Aku adalah anak yang telah durhaka padamu. Keinginanku pergi jauh karena tidak tahan mendengar suaramu yang kuanggap sebagai omelan tiap hari, meski itu adalah nasehat. Maka aku berpikir untuk menjauh dari rumah agar tak kudengar lagi suaramu itu. Betapa durhakanya aku, tapi engkau tak pernah tahu.
Aku tak pernah mengerti. Ternyata dibalik dinginnya sikap sang ayah yang mengizinkan aku merantau, ternyata hatinya berkata sebaliknya. Suara hati ayah engkau wakilkan melalui suaramu, ibu. Ya, engkau tidak merelakanku pergi di masa itu. kerasnya hatiku telah mengabaikan keinginannya yang berujung duka.
Ya, 27 Juni 2010 adalah duka panjang. Baru saja hitungan usiaku bertambah menjadi 19 tahun, ayah pergi untuk selama-lamanya. Aku bagaikan tak percaya. Masa itu, engkau menyandarkan kepala di bahuku, meratapi kepergiannya. Sedangkan aku bagaikan hanya bisa mengalirkan air mata, suara tangisan yang tak bisa kukeluarkan, bagaikan ikut terbang bersama nyawanya. Bagaikan mimpi, semua begitu cepat berlalu.
Ibu, aku menyesal. Laranganmu bagaikan angin berlalu ditelingaku. Ternyata suaramu juga suara ayah. Sebagai seorang wanita yang lembut engkau bisa mengerti suara hati suamimu yang tidak disampaikan kepadaku. Ya, sisa-sisa usianya harus kalian jalani tanpa aku.
Tendengar saat-saat sebelum Izrail menjemputnya, ayah berkali-kali mengatakan “anakku”, itulah terakhir ia memanggilku. Aku menyesal, aku tidak menemani hari-hari akhir hidupnya . padahal aku tahu, sejak dari kecil ia begitu menyayangiku.
Ibu, namun semua itu telah berlalu. Kini aku hanya mempunyai dirimu, tanpa lagi ayah. Namun, hari-harimu juga kau jalani tanpaku disisimu, aku telah terlanjur di perantauan. Jika ada kesempatan pulang, aku akan menjengukmu walaupun hanya sebentar.
ibu, maafkanlah anakmu. Izinkan aku membahagiakanmu sebelum aku membahagiakan orang lain. Cinta selalu untukmu IBU.
ibu, maafkanlah anakmu. Izinkan aku membahagiakanmu sebelum aku membahagiakan orang lain. Cinta selalu untukmu IBU.
Hari Ibu, 22 Desember 2011
No comments:
Post a Comment